Tradisi Lisan Sinrilik (ᨔᨗᨑᨗᨒᨗ᨞): Warisan Sastra Suku Makassar

 

Oleh: Edi Kurniawan, S.Pd., M.Pd., Gr.


DALAM jagat kebudayaan suku Makassar, Sinrilik menempati posisi istimewa sebagai seni tutur yang menyatukan bahasa, musik, sejarah, dan nilai kehidupan. Tradisi ini merupakan bentuk sastra lisan (oral literature) yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi wadah tempat masyarakat Makassar merekam pengalaman kolektifnya. Kata Sinrilik sendiri berasal dari bahasa Makassar yang berarti “menuturkan” atau “bercerita”, sebuah istilah yang menyiratkan kedalaman hubungan antara kata dan makna, antara kisah dan kehidupan.


Secara tradisional, Sinrilik dibawakan oleh seorang seniman yang disebut Pasinrilik (ᨄᨔᨗᨑᨗᨒᨗ᨞), yakni penutur atau seni pitutur yang berperan sebagai penjaga memori budaya. Dalam penampilannya, ia mengiringi kisahnya dengan alat musik keso-keso, berdawai tunggal, yang nadanya mendayu mengiringi perubahan emosi dalam alur cerita. Musik Keso’-Keso’ bukan sekadar latar bunyi, tetapi menjadi bahasa kedua bagi pencerita, ia menghela napas cerita, mengatur tempo, dan memberi nyawa pada setiap kalimat yang diucapkannya.


Jejak historis Sinrilik dapat ditelusuri sejak masa pra-Islam di Sulawesi Selatan. Pada masa itu, ia berfungsi sebagai media pewarisan kisah kepahlawanan, silsilah raja-raja, dan falsafah hidup masyarakat. Namun, seiring masuknya Islam melalui Kerajaan Gowa-Tallo pada abad ke-17, Sinrilik mengalami proses akulturasi spiritual dan kultural. 

Kisah-kisahnya tidak lagi hanya menonjolkan heroisme duniawi, tetapi juga mengandung nilai-nilai moral dan religius yang berakar pada ajaran Islam. Transformasi ini memperlihatkan kemampuan masyarakat Makassar untuk menyerap unsur baru tanpa kehilangan jati dirinya, menjadikan Sinrilik sebagai contoh nyata sinkretisme harmonis antara Islam dan budaya lokal.

Pertunjukan Sinrilik merupakan pentas naratif yang memadukan suara, irama, dan ekspresi. Disampaikan secara monolog, Pasinrilik memegang peran sentral sebagai narator, aktor, sekaligus penyair. Ia menuturkan cerita dengan intonasi khas, lembut ketika mengisahkan cinta, sesekali tegas saat menggambarkan keberanian, dan lirih ketika menyentuh duka dan kesedihan.

Nada Keso’-Keso’ yang mengiringi setiap bait menuntun pendengar masuk ke dalam suasana emosional kisah sebuah pengalaman estetis yang menyentuh hati. Dalam beberapa konteks tradisional, pencerita menambahkan gerak tubuh, simbol gerakan tangan, atau mimik wajah untuk memperkuat makna cerita. Unsur teatrikal ini menjadikan Sinrilik tidak hanya sebagai karya sastra, tetapi juga performing art yang hidup dan komunikatif.


Bahasa yang digunakan dalam Sinrilik adalah bahasa Makassar klasik yang penuh dengan metafora, peribahasa (ᨄᨔ᨞), dan nasihat hidup (ᨄᨄᨔ᨞). Keindahan bahasanya bukan hanya terletak pada susunan diksi, tetapi juga pada irama tutur yang menggugah rasa. Dengan demikian, Sinrilik berperan ganda sebagai hiburan rakyat dan sekaligus sarana dan media pendidikan moral suku Makassar yang mengajarkan kebijaksanaan hidup melalui kisah dan simbol.

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post