Perjanjian Bungaya : Poin-Poin yang Menentukan

Oleh: Edi Kurniawan, S.Pd., M.Pd., Gr

Perjanjian Bungaya


PASCA "Perjanjian Bungaya" tahun 1667, kerajaan-kerajaan maritim di kawasan timur Nusantara praktis kehilangan kedaulatan politiknya. Ketiadaan perlindungan dan jaminan keamanan dari Kerajaan Gowa-Tallo membuat struktur kekuasaan maritim yang selama ini menjadi penopang stabilitas regional mengalami disintegrasi.

Secara geopolitik, harus diakui bahawa dampak "Perjanjian Bungaya" menggeser keseimbangan kekuasaan di kawasan timur Nusantara dari dominasi kerajaan-kerajaan lokal berbasis maritim menuju kontrol hegemonik VOC/Belanda. Sebelum tahun 1667, Kesultanan Gowa-Tallo berfungsi sebagai pengatur lalu lintas perdagangan dan pelindung bagi kerajaan-kerajaan sekutu seperti Luwu, Wajo, Mandar dan Ternate- Tidore, serta bagi para pedagang lokal dan internasional dari Maluku hingga Borneo bagian timur. Struktur ini membentuk sistem keamanan kolektif yang menjaga kestabilan jalur laut dan perdagangan rempah.

Namun, pasca-perjanjian, dominasi VOC/Belanda menyingkirkan fungsi protektif Kerajaan Gowa-Tallo dan menggantikannya dengan sistem kontrol kolonialisme yang bersifat represif. 

Pembatasan hak berlayar dan larangan menjalin hubungan diplomatik dengan kekuatan asing secara efektif mengebiri kedaulatan politik dan militer kerajaan-kerajaan lokal. VOC tidak hanya memaksakan kontrol terhadap wilayah pelabuhan utama seperti Somba Opu dan pelabuhan lainnya, tetapi juga menata ulang jaringan kekuasaan regional melalui sistem client kingdom, yakni menjadikan kerajaan-kerajaan yang masih eksis sebagai bawahan administratif dan ekonomi.

Kehilangan perlindungan Kerajaan Gowa-Tallo menciptakan kekosongan kekuasaan (power vacuum) di perairan timur. Vakum tersebut dimanfaatkan oleh kekuatan kolonial untuk memperluas pengaruhnya, sementara di sisi lain memicu munculnya instabilitas baru berupa perompakan dan konflik antar-kerajaan yang sebelumnya dapat dikendalikan dalam sistem maritim Gowa.

Namun ada juga kelompok-kelompok yang memilih "jalan yang berbeda" untuk bergabung sebagai sekutu baru bagi VOC/Belanda yang kerap kali menuduh Kerajaan Gowa-Tallo sebagai penjajah. 

Itu hal lumrah dan sering terjadi sebagai "opini" dan hari ini terus mencuat di permukaan sebagai olahan yang lezat di panggung sejarah. Seolah tak ingin akui jalan sejarah yang panjang meski kelam.

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post