Lontara dan Peradaban: Daeng Pamatte Sebagai Simbol Literasi Kerajaan Gowa

 (Oleh: Edi Kurniawan, S.Pd., M.Pd.,Gr)

LONTARA DAN PERADABAN: DAENG PAMATTE SEBAGAI  SIMBOL LITERASI KERAJAAN GOWA


“Lontara adalah bahasa diam leluhur, sebuah aksara yang menyimpan suara sejarah, hukum, doa, dan mimpi orang-orang Makassar dari masa lampau. Mengabaikan Lontara sebagai aksara berarti memutus mata rantai pengetahuan yang telah menopang eksistensi budaya Makassar dalam arus sejarah panjang nusantara dan dunia.”

Daeng Pamatte merupakan figur sentral dalam lintasan sejarah Kerajaan Gowa yang memainkan peran strategis dalam pemerintahan, telah berkontribusi besar terhadap evolusi literasi dan budaya tulis masyarakat suku Makassar melalui pengembangan aksara Lontara’. Sosoknya hadir dalam narasi tradisional sebagai pemegang jabatan ganda Sabannara’ dan Tumailalang yang menempatkannya dalam “posisi kunci” dalam pengelolaan diplomasi maritim dan struktur administrasi internal kerajaan. Lebih dari sekadar birokrat, Daeng Pamatte tampil sebagai arsitek awal sistem penulisan lokal, dimana kreativitasnya dalam menyusun dan menyempurnakan aksara Lontara Makassar membuka jalan bagi kodifikasi hukum, pelestarian sejarah, dan dokumentasi silsilah kerajaan secara sistematis. Dalam catatan dijekaskan:

“iapa anne / karaeng / mapare / rapang / bicara / timu timu / ri bunduka / sabannarana / mianne /karaenga / I Daeng Pamatte / ia sabannara / ia tumailalang / iami / ampareki / lontara /Mangkasaraka / ......”

Terjemahannya:

“Raja inilah (Karaeng tu mapa’risika Kallongna) yang pertama membuat undang-undang dan peraturan perang. Sahbandar Raja ini bernama I Daeng Pamatte, Dia seorang Syahbandar dan dia juga sebagai Tumailalang. Beliaulah (Karaeng Tumaparisik Kallongna) Yang Menciptakan tulisan/aksara lontarak Makassar ....”

Naskah Patturioloang Gowa

Naskah Patturioloang Gowa

Transformasi dari tradisi lisan menuju tradisi tulis yang terjadi pada masa kepemimpinan Raja Gowa IX tidak dapat dilepaskan dari tangan dingin sosok Daeng Pamatte, yang dengan karya seperti Lontara Bilang Gowa-Tallo, telah menjembatani antara memori kolektif masyarakat dan arsip tertulis yang bertahan lintas generasi hingga saat ini. Aksara “Lontara Jangang-Jangang” yang dikaitkan dengan namanya menjadi simbol visual dari kreativitas dan inovasi lokal dalam membangun identitas budaya yang kuat dan berakar.

Kontribusinya yang bersifat linguistik dan ideologis, Daeng Pamatte berhasil meletakkan pondasi literasi yang inklusif, mencakup kronik sejarah, hukum adat, hingga naskah keagamaan, sehingga menjadikan tulisan sebagai instrumen penting dalam pengelolaan kekuasaan, pewarisan nilai, dan pelestarian pengetahuan. Lontara’ telah diyakini sebagai aksara, pengetahuan dan warisan peradaban yang lahir dari suku Makassar sejak era 1538 M.

Meskipun keberadaan dokumentasi tertulis tentang Daeng Pamatte masih terbatas dan lebih banyak bersandar pada tradisi lisan, posisinya dalam historiografi Sulawesi Selatan tetap menonjol sebagai pelopor yang menginisiasi transformasi budaya melalui pena dan pemikiran. Warisan intelektual yang ditinggalkannya menjadi bukti bahwa kekuatan sebuah peradaban yang terletak pada kekuasaan politik semata, kecakapan mencatat, menyusun, dan meneruskan jejak sejarah secara tertulis dalam ruang waktu yang panjang. Maka, Daeng Pamatte tidak hanya dikenang sebagai pejabat kerajaan, melainkan sebagai simbol literasi dan pembentuk nalar sejarah masyarakat Makassar.

Ironisnya! Aksara lontara’, yang dahulu menjadi denyut nadi peradaban intelektual di tanah Gowa, kini mati suri dan terasa asing di negeri kelahirannya sendiri, dilupakan oleh generasi yang terjangkit sindrom amnesia budaya, lebih akrab dengan gawai digital daripada naskah leluhur.

Ketika warisan budaya seperti aksara lontara tidak lagi dijaga, maka generasi Makassar akan tumbuh tanpa akar, rapuh dalam arus global, dan kehilangan tempatnya dalam narasi peradaban. Apalah artinya sebuah peradaban tanpa aksaranya? Jika Lontara dibiarkan terkubur oleh ketidakpedulian, maka generasi Makassar akan lahir dalam kekosongan makna, hanya menjadi pewaris tanah, tapi bukan pewaris sejarah.


Referensi:

Lontara’ Patturioloang Gowa Tallo.

Macknight, C. C. (1983). The Rise of Gowa and Makassar. Cornell Modern Indonesia Project.

Daeng Patunru, A. (1969). Sejarah Gowa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rahilah, S. (2013). Aksara Lontara: Perkembangan dan Peranannya dalam Dokumentasi Budaya Makassar. Jurnal Pattingalloang, Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan.

 

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post